Mengenal Sepintas Surat Ibrani

Kitab Ibrani adalah sebuah kitab yang tidak mudah untuk dimengerti. Walaupun disebut sebagai sebuah “surat”, kitab ini tidak seperti sebuah surat yang biasa pada masa itu karena dalam surat ini tidak disebut siapa yang menulis surat serta kepada siapa surat ini ditujukan, serta tidak ada salam  yang umumnya terdapat di dalam surat-surat kuno. Penulis kitab ini menyebut surat Ibrani sebagai “kata-kata nasihat” (13:22) yang pengertiannya pada masa kini bisa disamakan dengan khotbah, yaitu khotbah yang dituliskan. Ada ayat-ayat dalam kitab ini yang menunjuk kepada perkataan lisan (2:5; 5:11; 8:1; 9:5; 11:32). Dari sisi pokok bahasannya, kitab ini juga bisa dianggap sebagai sebuah makalah tentang keutamaan atau keunggulan Kristus.Dalam salah satu terjemahan kuno, yaitu terjemahan versi King James, disebutkan di bagian judul bahwa surat Ibrani ini ditulis oleh Rasul Paulus. Akan tetapi, bisa dipastikan bahwa penjelasan tersebut ditambahkan oleh para penerjemah Alkitab King James. Kitab Ibrani tidak mungkin ditulis oleh Rasul Paulus karena bentuk kitab ini berbeda dengan bentuk surat-surat Rasul Paulus yang lain. Ada berbagai dugaan tentang siapa penulis surat Ibrani ini, tetapi tidak ada dugaan yang bisa dianggap sebagai suatu kepastian. Seorang Bapak Gereja bernama Origen mengatakan bahwa hanya Allah yang tahu siapa penulis surat Ibrani.Mengingat bahwa  dalam Surat Ibrani terdapat banyak kutipan Perjanjian Lama, pada umumnya para ahli Alkitab beranggapan bahwa penerima surat Ibrani adalah orang-orang Yahudi yang menjadi Kristen. Akan tetapi, karena kutipan-kutipan tersebut merupakan kutipan dari Septuaginta (Terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani), ada pula kemungkinan bahwa penerima surat Ibrani adalah mantan penyembah berhala yang telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus.Mengingat bahwa penulis dan penerima surat Ibrani adalah generasi kedua kekristenan yang memperoleh pemahaman tentang keselamatan dari orang-orang yang mendengar pengajaran langsung dari Tuhan Yesus (2:3), dan bahwa upacara korban di Bait Allah masih berlangsung saat surat Ibrani ditulis, maka dapat disimpulkan bahwa surat Ibrani ditulis antara tahun 60 dan tahun 70, yaitu sebelum terjadinya penghancuran Bait Allah oleh Jenderal Titus pada tahun 70. Pada masa itu, orang-orang Kristen menghadapi ancaman penganiayaan, baik dari orang-orang Yahudi yang menolak Tuhan Yesus maupun dari pemerintah Romawi. Surat Ibrani ditulis untuk menguatkan pembaca agar tetap bertekun dan bertahan dalam iman kepada Yesus Kristus saat menghadapi berbagai penderitaan. [P]
Baca Selengkapnya...

Sheren And Rory Family @ Sea World Ancol Jakarta


Baca Selengkapnya...

MENGENAL SEPINTAS KITAB PENGKOTBAH

Jika kita membaca sekilas saja, Kitab Pengkhotbah sepertinya memberikan banyak pernyataan dan gambaran yang berkontradiksi dengan ajaran Alkitab lainnya. Gambaran suatu hidup yang pesimis, skeptis, rasionalis bahkan fatalis. Betulkah demikian? Hal ini masih ditambah lagi dengan banyaknya pernyataan dalam Kitab Pengkhotbah yang nampaknya bertentangan, misalnya dengan kitab hikmat lainnya, yaitu Amsal. Namun sesungguhnya untuk lebih memahami hidup dan realitas hidup yang multidimensi ini, maka kitab Pengkhotbah akan saling melengkapi dengan kitab Amsal.
Mengapa Pengkhotbah (Qoheleth) melukiskan suatu gambaran hidup yang gelap, suatu kesuraman dan ironisnya sebuah kehidupan? Ada beberapa alasan.
Pertama, Pengkhotbah ingin menunjukkan bahwa tanpa Allah hidup ini tiada artinya sama sekali. Dia menghancurkan keyakinan manusia atas dirinya sendiri, yaitu bahwa segala pencapaian dan tujuan duniawi tidak akan pernah memuaskan hidupnya. Oleh karena itu arti hidup dan kebahagiaan hidup tidak akan dapat dicapai jika tidak memasukkan gambaran Allah dalam hidup manusia.
Kedua, hidup ini tidak dapat sepenuhnya dipahami. Sekalipun manusia mempunyai hikmat yang tinggi, hidup ini penuh misteri. Oleh karena itu kita harus hidup oleh iman dan bukan oleh apa yang kita saksikan (live by faith not live by sight). Hal ini sama seperti yang secara konsisten dikatakan oleh Alkitab, “Orang benar akan hidup oleh iman.” (Habakuk 2:4; Roma 1:17). Hidup penuh teka-teki yang rumit, banyak pertanyaan tentang hidup tidak terjawab, ketidakadilan yang tidak bisa dimengerti; hidup penuh dengan ketidakpastian; semuanya itu kita jumpai dalam kenyataan hidup sehari-hari. Pengkhotbah menunjukkan baik keterbatasan manusia maupun fakta bahwa manusia mau tidak mau menghadapi banyak misteri dalam hidupnya. Hidup di bawah matahari tidak akan membawa kita kepada kepuasan. Oleh karena itu, kita harus hidup bukan hanya melihat secara horisontal, namun juga harus melihat secara vertikal, yaitu melihat ke atas kepada Allah. Hidup takut akan Dia. Hidup beriman, percaya kepada Tuhan. Tuhan memberi kekekalan dalam hati manusia, maka manusia selalu mencari sesuatu yang lebih (something beyond), tetapi manusia tidak pernah mengerti sepenuhnya.
Ketiga, Pengkhotbah memberikan pandangan hidup yang realistik untuk meng-counter dan menyeimbangkan hidup yang terlalu optimistik (unqualified optimistic) dari hikmat tradisional. Kitab Pengkhotbah melengkapi kitab Amsal dalam memandang realitas hidup ini. Kitab Amsal memandang hidup ini tanpa perkecualiaan, sedangkan kitab Pengkhotbah memandang hidup ini dengan adanya begitu banyak perkecualian. Jadi sesungguhnya kedua kitab ini saling melengkapi dan bukannya saling berkontradiksi. Keduanya, Amsal dan Pengkhotbah akan memberikan gambaran yang utuh tentang hidup manusia.
Keempat, satu-satunya jawaban terhadap arti hidup manusia adalah takut akan Allah dan menikmati hidup yang dikaruniakan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya. Apakah arti hidup ini? Pengkhotbah akan menjawab, “Takutlah akan Allah!” (Pengkhotbah 12:13). Hidup bersama Tuhan adalah suatu kehidupan yang berharga untuk dihidupi (worth living). Solus Christus. Soli Deo Gloria.[JS
Baca Selengkapnya...

MENGENAL SEPINTAS KITAB NAHUM

Allah itu penuh dengan kasih, kelembutan, kemurahhatian, kesabaran, dan pengampunan; tetapi Dia juga bersikap tegas (tidak berkompromi) terhadap dosa. Dia mau mengampuni orang berdosa yang bertobat, tetapi Dia tidak pernah membebaskan orang yang bersalah (tetapi tidak mau bertobat) dari hukuman. Bila kita hanya melihat sisi penghukuman Allah saja, mungkin kita bisa berkesimpulan bahwa Allah itu kejam. Akan tetapi, bila kita melihat kepada Sang Juruselamat yang rela mati di kayu salib bagi orang berdosa, tahulah kita bahwa Allah itu benar-benar baik.
Niniwe, ibu kota Asyur, adalah sebuah kota yang penduduknya amat jahat. Kejahatan mereka begitu dahsyat sehingga Allah mengutus Nabi Yunus untuk mengumumkan tentang akan dijatuhkannya hukuman Allah. Nabi Yunus enggan menyampaikan berita tersebut karena dia kuatir bahwa orang-orang Niniwe akan bertobat dan Allah mengurungkan hukumannya, padahal Nabi Yunus menginginkan agar hukuman terhadap musuh-musuh umat Allah itu benar-benar dijatuhkan. Akan tetapi, Allah mengasihi penduduk Niniwe yang jahat itu sehingga Ia memaksa Nabi Yunus untuk pergi menyampaikan berita penghukuman Tuhan. Ternyata bahwa kekuatiran Yunus terbukti: Penduduk Niniwe bertobat dan Allah menunda penghukumannya.
Sayangnya, pertobatan penduduk Niniwe itu tidak terus dipertahankan. Generasi selanjutnya kembali kepada kebiasaan melakukan kekerasan, menyembah berhala, dan bersikap sombong. Bangsa Asyur itulah yang menghancurkan Kerajaan Israel Utara dan membuang penduduknya dari Tanah Perjanjian. Akan tetapi, Allah tidak tinggal diam. Kira-kira seratus tahun kemudian, Allah mengutus Nabi Nahum untuk mengumumkan tentang kejatuhan kota Niniwe. Kita tahu bahwa kemudian bangsa Babel menghancurleburkan kota tersebut.
Dari satu sisi, penghancuran kota Niniwe itu seolah-olah menunjukkan bahwa Allah itu kejam, padahal hukuman bagi Niniwe itu sebenarnya setimpal dengan dosa mereka. Dari sisi lain, penghancuran kota Niniwe itu merupakan penghiburan bagi umat Tuhan. Hal ini sesuai dengan nama sang nabi, yaitu “Nahum” yang berarti “penghiburan”.
Di dunia ini, umat Allah kadang-kadang mengalami berbagai kesulitan, ketidakadilan, dan penganiayaan. Saat dirugikan, janganlah kita berpikir untuk membalas. Ingatlah bahwa pembalasan itu adalah hak Allah dan bahwa pada hari penghakiman, keadilan Allah akan dinyatakan. Ingatlah pula bahwa kita pun harus menghargai anugerah Allah yang memberi kita kesempatan untuk bertobat dan mendapatkan pengampunan di dalam Kristus. [P]
Baca Selengkapnya...

MENGENAL SEPINTAS SURAT FILEMON

Surat Filemon adalah surat permohonan ampun atas kesalahan orang lain. Pengampunan ini sejalan dengan berita Injil, yaitu bahwa Tuhan sudah mengampuni dosa manusia. Mengampuni ini mencakup melupakan segala kesalahan yang pernah dilakukan, memulihkan hubungan yang retak, dan menyembuhkan luka batin. Dari sudut pandang inilah, kita akan memahami surat Filemon.
Surat Filemon yang hanya terdiri dari 25 ayat ini dapat dibagi menjadi empat bagian:
Pertama, ucapan syukur Paulus atas Filemon sahabatnya (1:1-7).
Kedua, permohonan agar Filemon mengampuni dan menerima Onesimus (1:8–16).
Ketiga, janji Paulus kepada Filemon (1:17–22).
Keempat, salam dari kawan-kawan sepelayanan Paulus (1:23–25)
Surat Filemon ditulis sewaktu Paulus dipenjara di kota Roma. Kemungkinan, ia mengirimkan surat ini ke Kolose melalui Onesimus dan Tikhikus (Kolose 4:7-9). Onesimus menjadi percaya kepada Tuhan Yesus karena pelayanan Paulus, bahkan ia menjadi asisten Paulus yang berguna (1:11), sampai-sampai Paulus berniat menahan Onesimus untuk membantu pelayanannya (1:13). Namun, Paulus sadar bahwa ada permasalahan yang perlu diselesaikan dengan Filemon, mantan majikan Onesimus yang notabene adalah sahabat dan rekan sekerja Paulus (1:1).
Menurut hukum Romawi saat itu, budak yang melarikan diri bisa dihukum mati dan ini akan menghalangi pemberitaan Paulus serta pelayanan Filemon selaku pemimpin jemaat di rumahnya (1:2). Sekalipun surat ini bersifat pribadi, namun ditujukan juga kepada pemimpin yang lain seperti Apfia dan Arkhipus, serta kepada jemaat di rumah Filemon (1:1-2). Jadi, masalah larinya omesimus paling tidak sudah diketahui oleh jemaat di rumah Filemon. Situasi ini akan semakin sulit bila Paulus menahan Onesimus, sekalipun sekarang Onesimus sudah menjadi anak Tuhan. Bahwa Paulus bersedia mengganti rugi akibat perbuatan Onesimus menunjukkan betapa seriusnya kasus Onesimus dengan Filemon ini. Paulus memandang perlu suatu upaya rekonsiliasi demi kemajuan injil dan kesaksian gereja, dan ia mengajukan surat permohonan ini agar Filemon dapat menerima Onesimus kembali.
Sungguh sebuah pembelajaran yang berharga bagi gereja mula–mula maupun bagi gereja saat ini bahwa umat yang memberitakan berita injil patut memiliki integritas dan kesaksian hidup yang baik. Dalam hal ini, surat ini tidak hanya berbicara kepada pihak yang “benar“ (Filemon), namun juga kepada si pembuat masalah ( Onesimus ) yang sekalipun telah bertobat, masih tetap perlu menyelesaikan permasalahannya. [
Baca Selengkapnya...

MENGENAL SEPINTAS KITAB HABAKUK

         Pada masa pelayanan Nabi Habakuk, kejahatan, kekerasan, dan ketidakadilan merajalela di Kerajaan Yehuda. Hukum tidak memiliki kekuatan (1:2-4). Dalam keadaan seperti itu, Allah mengatakan bahwa Dia telah membangkitkan bangsa Kasdim (1:6), yaitu sebutan untuk sebuah suku bangsa di Babel Selatan yang kemudian menguasai seluruh wilayah Babel, sehingga bangsa Kasdim ini kemudian dianggap sebagai mewakili seluruh bangsa Babel. Bangsa Kasdim ini ganas dan pandai berperang sehingga wilayah kekuasaan mereka terus berkembang sampai akhirnya mereka berhasil menaklukkan Kerajaan Asyur, kerajaan yang berkuasa sebelum berkembangnya Kerajaan Babel, pada tahun 612 BC. Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa Nabi Habakuk melayani pada zaman pemerintahan Raja Yoyakim (608-597 BC), yaitu raja yang jahat yang memimpin bangsanya kepada kehancuran (2 Raja-raja 23:34-24:5).

       Kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kekerasan, dan ketidakadilan pada masa itu membuat Nabi Habakuk berseru memohon pertolongan Tuhan (Habakuk 1:2-4). Jawaban Tuhan membuat Nabi Habakuk semakin gelisah, yaitu bahwa Tuhan akan mengutus bangsa Kasdim untuk menghukum Yehuda (1:5-11). Kegelisahan Nabi Habakuk ini disebabkan karena dia mengetahui bahwa bangsa Kasdim adalah bangsa yang amat sadis. Menurut hasil temuan arkeologis, tawanan perang mereka dibawa dengan tali yang diujungnya terikat sebuah kail, dan kail itu dikaitkan ke hidung atau bibir bawah tawanan mereka (Bandingkan dengan 1:15). Nabi Habakuk sulit untuk mengerti bagaimana Allah bisa menghukum Yehuda dengan memanfaatkan bangsa Kasdim yang lebih jahat daripada bangsa Yehuda (1:13, “orang fasik” menunjuk kepada bangsa Kasdim, sedangkan “orang yang lebih benar” menunjuk kepada bangsa Yehuda).
       
       Terhadap keberatan Nabi Habakuk itu, Tuhan menyampaikan dua hal penting, yaitu: Pertama, “orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (2:4; perkataan itu bisa pula diterjemahkan menjadi, “orang benar akan hidup oleh iman”). Kedua, bila sudah tiba waktunya, bangsa Babel juga akan menerima hukuman Allah karena kejahatan mereka. Bila Allah sudah mulai bertindak untuk menghukum, patung-patung dewa yang disembah oleh bangsa Kasdim tidak akan bisa menolong (2:5-20).
Setelah mendengarkan jawaban Allah, Nabi Habakuk memberi respons berbentuk sebuah nyanyian yang berisi doa dan pengakuan iman yang agung dalam pasal 3. Habakuk 3:17-19 menjadi pegangan dan penghiburan bagi banyak orang percaya pada masa kini.
Baca Selengkapnya...

Berita Terkini