Kalau ingat kota Tarutung, jadi ingat masa kecilku tinggal di rumah Oppung. Alamatnya di seputaran Jalan Sisingamangaraja di antara Bioskop Silindung dan Bioskop Tobing. Beberapa bangunan sudah berganti fungsi dan identitas. Ya masa itu sekitar tahun 1979 hingga awal tahun 1980an aku menjelang masuk Sekolah TK. Suasananya sampai saat ini masih melekat erat diingatanku bagaimana keadaan kota yang belum terlalu ramai, main dengan teman-teman di sekitar mobil2 Pemadam Kebakaran yang sedang standby, ari onan, sampai Oppung Boruku belikan Kue Talam di Pasar.
Pasar Tarutung itu sendiri sudah pindah beberapa kali. Letak awalnya sendiri adalah di jalan Sisingamangaraja yang saat ini sudah digunakan sebagai lokasi berdirinya Gedung DPRD Tapanuli Utara dan Gedung Sopo Partungkoan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa awal kota Tarutung bermula dari munculnya tempat perdagangan di wilayah Tapanuli.
Pada abad 19 Rura Silindung yang dikelilingi pegunungan Bukit Barisan sudah mulai ramai dikunjungi warga untuk melakukan transaksi perdagangan. Seperti dari Barus, Sibolga, Sipirok Pahae, Toba dan Humbang. Transaksi perdagangan dilakukan di sebuah pohon beringin yang rindang dengan system barter atau tukar menukar barang, karena pada waktu itu belum ada uang. Sistem pasar barter ini disebut dengan Onan Sitaru yang terletak di Saitnihuta Tarutung.
Namun karena terjadinya perang Bonjol yang disebut dengan Perang Paderi kegiatan Pasar Onan Sitaru tersebut terhenti, karena pasukan Bonjol yang dikomandoi orang-orang Batak menghancurkan kehidupan Batak di Rura Silindung, termasuk membakar rumah-rumah Batak di perkampungan Rura Silindung. Inilah yang mengakibatkan keberadaan rumah Batak jarang yang terlihat berada di Rura Silindung. Sedangkan perkampungan yang sekarang ini terbangun setelah Perang Paderi selesai atau setelah masuknya missionaris DR IL Nommensen. Orang-orang mulai turun gunung dan kembali ke Rura Silindung, perdagangan tradisional pun mulai dibuka namun tidak lagi di Saitnihuta, melainkan Tangsi sebagai wilayah yang dikuasai Belanda yang tentu saja memberi keuntungan bagi militer Belanda. Kawasan tersebut menjadi resmi sebagai tempat berdagang.
Sebagai tanda resmi tanda lokasi berdagang, pihak Belanda menanam sebatang pohon durian (tahun 1877) yang bagi orang Batak disebut Tarutung. Setelah lebih dari 60 tahun pasar tradisional tersebut semakin berkembang dan berdirilah Pasar Tarutung di kawasan pohon durian tersebut. Namun pada tahun 1987 terjadi gempa tektonik yang sangat kuat yang mengakibatkan bangunan pasar yang telah dibangun bertingkat rusak berat dan harus dibongkar total. Selanjutnya pasar ini dipindahkan lokasinya ke kawasan Panganan Lombu. Lokasi lama ini sekarang telah digantikan oleh Gedung DPRD dan Gedung Sopo Partungkoan.
Batang ni Tarutung (Pohon durian) itu sendiri kini telah berusia 134 tahun masih tumbuh subur dan masih menghasilkan buah yang enak pada musimnya. Di bawahnya telah dibuat sebuah monumen dan dipagari agar tetap lestari. (Ref : SIB 26/2/11)