Dahulu kala, hiduplah seorang jejaka ditepian sungai Sipangolu dikaki gunung Pusuk Buhit. Ia hidup mengembara dan bekerja sebagai pemburu dan nelayan. Entah kenapa, sudah tujuh hari tujuh malam Parbubu (Baoa Sipogos-pogos) ini tidak mendapatkan tangkapan/hasil buruan ataupun mendapat ikan dari bubu(penangkap ikan). Parbubu ini sangat resah, maka ia pun melanjutkan perjalanannya ke hulu sungai. Disana ia menemukan kubangan air yang bening, jernih dan didalamnya kelihatan banyak ikannya. Maka iapun memasang bubunya di dalam air, tapi yang ada ikan-ikan itu tak ada satupun yang masuk dalam perangkap. Dengan penuh sabar Parbubu menunggu dengan keyakinannya pasti akan ada ikan yang masuk dan dapat ditangkap.
Setelah hari menjelang malam, ia melihat ada ikan yang masuk ke dalam bubunya. Melihat hal itu ia menjadi bahagia dan girang apalagi ukurannya sangat besar. Dengan sekuat tenaga ia mengangkatnya dan membawanya pulang. Dalam kegelapan ia meletakkan bubu ditepi perapian (tataring), sementara ia mempersiapkan kayu bakar untuk memanggang ikan besar itu. Tiba-tiba dalam remangnya malam ia mendengar sayup-sayup suara bisikan seolah-olah ada yang minta tolong dari si ikan. Sang ikan minta agar ia tidak dipotong. Untuk meyakinkan, ia mendekati ikan . Dan benar ikan tersebut dapat berbicara. Parbubu menyalakan lampu agar dapat melihat ikan ajaib tersebut, ternyata bersisik emas. Ia kaget bercampur bahagia, sehingga mengurungkan niat untuk memanggangnya. Lalu ia membenahi dan memeliharanya dengan harapan semakin banyak memperoleh emas dari sisik ikannya sehingga hal itu dapat membuatnya menjadi kaya raya.
Kegembiraan ini membuat membuat Parbubu menjadi keletihan dan tertidur pulas. Belum lama ia tertidur, ia kaget karena seorang gadis cantik membangunkannya untuk pamit pulang. Uniknya, si gadis ini telah meninggalkan banyak emas untuk Parbubu. Dengan penuh harap dan memohon, Parbubu menyampaikan niatnya untuk menjadikan gadis cantik tersebut menjadi istrinya. Alangkah kagetnya Parbubu, ketika sang gadis menjawab, “Saya mau menjadi istrimu, asal kau mau berjanji dan bersumpah bahwa kelak kau tidak akan menceritakan dan mengungkit-ungkit asal-usulku. Serta kejadian ini tidak perlu diketahui oleh siapapun. Apalagi kepada anak-anak kita nanti. (Naso jadi dohononmu ahu sian dekke manang hatahononmu tu pinopparta muse).” Parbubu berjanji tidak akan melanggar apa yang diminta dan bersedia menerima segala resikonya apabila dilanggar. Siboru Nauli menegaskan bila sumpah diingkari dan sumpah dilanggar, akan datang bala dan mara bahaya di tanah yang mereka tempati dan Siboru Nauli akan kembali ketempatnya semula, menjadi seekor ikan mas. Persyaratan yang diajukan Siboru Nauli pun diterima oleh Baoa Parbubu. Dia tidak akan menceritakan kepada siapapun apa yang telah ia janjikan, dikala senang ataupun duka. Ia tidak akan pernah mengucapkan hal ini kepada siapapun.
Tidak terlalu lama perkawinan mereka, lahirlah seorang anak laki-laki. Kebahagiaan pun terwujud dengan kehadiran anak dari buah cinta mereka. Kenyataan tidak seperti yang diharapkan, sang anak tumbuh semakin besar namun semakin nakal dan manja sehingga sering timbul masalah. Bagaimana merawat dan membesarkan Siborsuk, kadang antara suami dan istri saling menuduh. Saling menyalahkan antara ibu dan bapak. Biasanya, yang mengantarkan makanan ke sawah sebagai bekal si bapak adalah si ibu. Tetapi setelah anaknya besar, suatu ketika pekerjaan itu diberikan kepada Siborsuk. Ia disuruh mengantarkan nasi bapaknya, dan selalu terlambat, karena Siborsuk selalu berenang dulu di sungai yang kebetulan kalau ke ladang harus melewati sungai. Sehingga nasi untuk bapaknya sering sampai kesiangan, membuat Parbubu kelaparan. Disuatu hari, ibunya menyuruh Siborsuk mangantar nasi kepada bapaknya di sawah. Kebiasaan terulang, ia mandi dan berenang terlalu lama. Karena terlalu lama Siborsuk merasa lapar. Nasi yang dibawa untuk Parbubu dia makan habis. Setelah itu ia pun pergi menemui bapaknya. Sesampainya disawah, ia taruh tempat nasi disana dan Siborsuk pergi begitu saja, karena sudah merasa bersalah telah menghabiskan nasi bawaannya. Ia takut ia dimarahi.
Melihat anaknya datang, sang bapak menghampiri tempat nasinya. Ternyata, hanya tempat nasi yang sudah kosong. Sedangkan ia sendiri sudah sangat lapar. Akibatnya , ia marah kepada anaknya. Ia lupa akan janjinya karena tidak tertahankan lagi rasa kesalnya karena lapar. Parbubu mengumpat dan berteriak kepada anaknya. Ia memaki sepuasnya,hingga ia menucapkan kata-kata yang seharusnya tidak boleh ia ucapkan. “Dasar anak ikan ! anak yang tidak bias diatur.!” Mendengar ucapan bapaknya serta perlakuannya Siborsuk lari pulang ke rumah sambil menangis menemui ibunya. Mendengar cerita Siborsuk ibunya menjadi sangat sedih karena Parbubu telah melanggar janjinya. Lama Siboru Nauli merenung, tapi apa lagi mau dikata sumpah sudah dilanggar, hukumanpun tak dapat lagi dielakkan. Dengan diiringi tangis, Siboru Nauli memerintahkan anaknya pergi ke atas bukit karena hujan badai akan datang. Bapaknya telah melanggar janjinya. Setelah melihat anaknya tiba di atas bukit, Siboru Nauli pun pergi ke sungai mencelupkan diri, dan kembali ke habitatnya menjadi seekor ikan. Hujan pun datang bercampur gemuruh halilintar dan banjir pun datang menggenangi seluruh desa. Akibat hujan turun dengan derasnya banjir besar membentuk sebuah danau. Danau inilah yang selanjutnya dikenal dengan sebutan danau Toba (Tao Toba).