(Saat Teduh Jumat, 10 Februari, 2012)
Alkitab membicarakan semua aspek penting yang berhubungan dengan
semua kebutuhan manusia, baik aspek spiritualitas maupun aspek jasmani.
Tidak ada aspek hidup yang dianggap tabu, tidak penting dan tidak perlu
diperhatikan. Kitab Kidung Agung membicarakan mengenai aspek penting
yang bersangkut paut dengan kehidupan cinta dan kenikmatan seksual dari
dua orang manusia yang telah dipersatukan Tuhan. Kidung Agung mengajar
mengenai kehidupan seksual yang benar dan bertanggung jawab dari sudut
pandang Tuhan.
Kidung Agung adalah sebuah kitab yang unik dalam kesusasteraan
Ibrani. Karena begitu unik, maka begitu banyak variasi tafsiran yang
berbeda atas kitab ini. Mulai dari penentuan pengarang, penanggalan,
tujuan penulisan, latar belakang sejarah, sampai berapa tokoh yang
terlibat dalam kitab ini pun masih menjadi perdebatan hingga sampai saat
ini. T.J. Meek dalam The Interpreter’s Bible mengomentari
keunikan Kidung Agung seperti ini, “Dari semua kitab dalam PL, tidak ada
satu kitab pun yang begitu sulit seperti Kidung Agung yang mempunyai
perbedaan pendapat yang bervariasi dalam interpretasinya.”
Berbagai Pendekatan dalam Penafsiran Kitab Kidung Agung
Banyak usaha penafsiran telah dilakukan agar umat Tuhan dapat memahami arti dan tujuan penulisan kitab ini. Pertama,
orang Yahudi berpendapat bahwa kitab ini menggambarkan tentang kasih
Allah kepada umat Israel. Allah digambarkan sebagai mempelai laki-laki,
sedangkan umat-Nya digambarkan seperti mempelai perempuan. Penafsiran
seperti ini kemudian diadopsi oleh orang Kristen. Mempelai laki-laki
yang mengasihi mempelai perempuan merupakan gambaran dari Yesus Kristus
yang mengasihi jemaat-Nya. Penafsiran semacam ini menggunakan pendekatan
alegoris yang membuang semua unsur cinta dua orang manusia yang
berlawanan jenis dan membuang unsur-unsur erotisme yang ada di dalamnya.
Tentu saja pandangan di atas kurang tepat. Walaupun beberapa penulis
Alkitab suka memakai gambaran alegoris suami dan istri untuk
menggambarkan hubungan Allah dengan bangsa Israel, kebanyakan dari
mereka memberikan gambaran yang bersifat negatif. Bangsa Israel sering
digambarkan sebagai istri yang tidak setia dan berkhianat kepada
suami-Nya (
Yesaya 54:4-5;
Yeremia 3:8,
20;
Hosea 1:2-9). Selain itu, tidak ada indikasi bahwa kitab ini merupakan alegori kasih Allah kepada umat-Nya.
Kedua, pendekatan yang lain adalah penafsiran dramatis
(Dramatical Interpretation) yang mulai dikenal pada akhir abad ke-18 dan
menjadi terkenal pada awal abad ke-19, yaitu setelah tafsiran secara
alegori mulai berkurang pendukungnya. Robert Gordis menyatakan bahwa
tafsiran Kidung Agung secara drama ada dua bentuk, yang didasarkan pada
pemeran utama dalam kitab ini. Ada yang beranggapan bahwa dalam Kidung
Agung terdapat dua pemeran utama, yaitu Salomo (kadang-kadang menyamar
sebagai seorang gembala) dan seorang gadis desa yang disebut sebagai
gadis Sulam (Kidung Agung 6:13). Pendapat ini dipegang oleh Franz
Delitzch. Ada juga yang berpendapat bahwa dalam kitab ini terdapat tiga
pemeran utama, yaitu raja Salomo, gadis Sulam, dan gembala. J.S. Jacobi
adalah orang Kristen pertama yang mengajarkan pendapat ini pada tahun
1771. Kemudian Heinrich Ewald mengembangkan teori ini pada tahun 1826.
Pada tahun 1891, S.R. Driver mempropagandakan hipotesa ini. Pendekatan
penafsiran ini disebut dengan hipotesa gembala di mana Salomo
digambarkan sebagai seorang bad guy yang berhati baik.
Maksudnya, Salomo berusaha mendapatkan hati gadis Sulam dengan berbagai
macam rayuan, kekayaan dan kemuliaan. Akan tetapi, hati gadis Sulam
sudah melekat pada kekasihnya yang menjadi gembala. Salomo menghargai
kasih gadis Sulam kepada si gembala, sebab itu ia membiarkan gadis Sulam
kembali kepada kekasihnya.
Meskipun cara penafsiran dramatis memberikan pelajaran yang indah
tentang pernikahan, tetapi apakah cara penafsiran dramatis ini dapat
dibenarkan? Jika dipelajari secara mendalam, maka terlihat bahwa
pendekatan penafsiran ini paling tidak mempunyai dua kesulitan.
Pertama, drama tidak pernah ada dalam kehidupan bangsa
Yahudi, demikianlah menurut sarjana Alkitab E.J. Young, Meredith Kline,
dan Harrison.
Kedua, kesulitan hipotesa ini adalah ketidaksepakatan dari para penafsirnya akan pembagian dialog dalam kitab ini.
Ketiga, pendekatan penafsiran yang lebih dapat diterima
adalah penafsiran secara alamiah atau harfiah. Prinsip dasar pandangan
ini adalah bahwa kitab ini merupakan syair yang memuji cinta manusia.
Kidung Agung adalah satu-satunya kitab yang bergenre sajak cinta (love poem genre)
yang menggambarkan kehidupan dua orang kekasih yang menjalin hubungan
cinta. Sebab itu, tidak berlebihan jika kitab ini disebut sebagai kitab
mengenai cinta sejati yang menebus dan memulihkan cinta yang telah jatuh
di Taman Eden, karena kitab ini bertujuan untuk menjawab kecenderungan
anggapan bahwa seks itu buruk. Sesungguhnya, hubungan seksual yang
dilakukan oleh suami dan istri dalam koridor pernikahan tidaklah buruk,
melainkan indah. Hubungan seksual tidak dimaksudkan untuk menghasilkan
perasaan bersalah, melainkan untuk menghasilkan kepenuhan hidup dalam
koridor pernikahan yang kudus.
Garis Besar Kitab Kidung Agung
Kitab Kidung Agung tidak menunjukkan pembagian yang jelas, namun
demikian di bawah ini adalah garis besar yang diusulkan oleh penulis.
Bagian Pertama(1:1-2:7). Seorang gadis muda bercerita
tentang cinta sejatinya. Ia menyebut kekasihnya sebagai “sang raja”
(1:4). Kemudian, gadis ini dan kekasihnya mempersembahkan kidung cinta
yang penuh dengan gambaran yang menggairahkan indra penglihatan,
penciuman, dan cita rasa.
Bagian Kedua(2:8-3:5). Si gadis bermimpi tentang kekasihnya
yang datang di bawah jendelanya. Sang kekasih menyanyikan lagu cinta
bagi si gadis muda. Si gadis mencari kekasihnya ketika ia berbaring di
tempat tidur, tetapi kekasihnya tidak ada di sana, sebab itu ia pergi ke
jalan untuk mencarinya.
Bagian Ketiga(3:6-5:1). Bagian ini dimulai dengan gambaran
tentang pernikahan yang megah (3:6-11), dilanjutkan dengan pujian si
pemuda (4:1-15). Sigadis mengundangnya untuk memasuki “kebunnya” dan
menikmati buah-buah dan rempah-rempahnya (4:16-5:1).
Bagian Keempat(5:2-6:3). Mimpi kedua si gadis yang
mengisahkan bahwa kekasihnya datang ke kamarnya, tetapi ketika ia tidak
ada di sana, si gadis muda berkeliling untuk mencarinya (5:2-8). Sang
gadis memuji kekasihnya dihadapan puteri-puteri Yerusalem (5:9-16). Ia
mengungkapkan keyakinan yang teguh bahwa ia adalah milik kekasihnya dan
sebaliknya (6:1-3).
Bagian Kelima(6:4-8:4). Kekasihnya memuji si gadis sebagai
satu-satunya yang diinginkannya di atas segala-galanya (6:4-10).
Kekasihnya dan para sahabatnya membicarakan kecantikan si gadis
(6:10-7:13). Si gadis mengundang kekasihnya untuk pergi ke rumah ibu si
gadis, tempat mereka bersiap untuk mewujudkan impian cinta mereka
(8:1-4).
Bagian Keenam(8:5-14). Perkataan-perkataan klimaks dari si
gadis mengenai kekuatan cinta yang menjelaskan bahwa cintanya tidak
dapat dibeli oleh siapa pun karena ia hanya memberikan kebun anggurnya
(tubuhnya) kepada orang yang dicintainya.
Kontribusi Teologis
Kidung Agung sangat relevan bagi kebutuhan zaman ini untuk
menjelaskan pemahaman seks yang benar dan kudus. Selain itu, kitab ini
juga dapat menjawab dua ekstrim yang salah mengenai seksualitas yang
berkembang saat ini. Di satu pihak, ada pandangan yang memahami seks
sebagai sesuatu yang kotor sehingga tabu untuk dibicarakan, apalagi
dilakukan. Bagi orang yang berpandangan seperti ini, seks hanya dipakai
sebagai alat untuk mendapatkan keturunan dan tidak layak untuk
dibicarakan di depan umum. ]
Di pihak lain, ada juga orang yang menganggap pemahaman mengenai seks
tidak perlu ditutup-tutupi, sehingga cenderung mengarah kepada
eksploitasi seks. Seks dalam pengertian seperti ini tidak lebih dari
pengumbaran hawa nafsu sehingga seks diperlakukan secara tidak
bertanggung jawab. Berlawanan dengan dua pandangan yang ekstrim
tersebut, Kidung Agung tampil untuk menegaskan bahwa seks itu benar dan
kudus, pemberian Allah untuk dinikmati oleh pasangan suami-istri yang
telah dipersatukan Tuhan dalam pernikahan yang kudus. Kitab ini
mengajarkan bagaimana setiap pasutri dapat menikmati hubungan seksual,
sehingga mereka dipersatukan dalam kasih yang suci yang Tuhan pakai
sebagai alat anugerah-Nya bagi kepenuhan hidup mereka dan bagi alat
reproduksi sehingga menggenapi firman Tuhan yang mengatakan, “… Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu ….” (Kejadian 1:28b).