20.04
By FRANS SIREGAR
BERIKUT ini bukan ceritera trayek jarak jauh Banda Aceh -- Denpasar
yang dijelajahi Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin. Cuma
sepotong trayek kecil, yang jaraknya pun hampir sama dengan jarak
Jakarta-Ciawi, 66 km. Yaitu jalur Sibolga - Tarutung. Bedanya, jarak dua
kota di Sumatera Utara tersebut tidak bisa, ditempuh mobil dalam tempo
satu jam. Karena mobil harus merayap naik -- kadang-kadang begitu
terjal, sampai 40� di KM 5,5. Untuk sampai dengan selamat orang harus
sabar dengan makan waktu 3 atau 4 Jam. Selain terjal, keistimewaan
lainnya jarak ini mempunyai tikungan sebanyak 1200 buah! Sebelah kiri
dibatasi punggung gunung dan di bibir jalan sebelah kanan menganga
jurang yang dalam. "Tetapi jalur Sibolga-Tarutung ini bukan gudang
kecelakaan," ujar Peltu Rizal yang jadi Komandan Operasi Polantas Kores
211, Tapanuli Tengah. Buktinya, "tahun lalu hanya terjadi 7 kali
kecelakaan saja." Jalan yang menanjak dan berkelok, kalau dari Sibolga,
tidak memungkinkan pengemudi melepaskan kewaspadaannya. Salah langkah
sedikit, juranglah makanannya. "Coba sebutkan, di mana ada jalur jalan
yang mempunyai tikungan sebanyak di sini," kata Rizal. "Jadi hanya orang
gila yang berani ngebut di situ." Orang Rante Karena itu, banyak supir
sebisa-bisa menghindari jalur yang satu ini. Kalau jalur
Padangsidempuan-Sipirok-Pahae- Tarutung,
oke-lah. Tapi kalau diteruskan sampai ke Sibolga. nanti dulu! Kalau
terpaksa lewat juga, supir bis dan keneknya harus memeriksa rem mobilnya
lebih dulu. Kalau sudah sampai di Sibolga, apa boleh buat, tampang
mobil jadi kotor tidak karuan. Karena terkocok rupanya banyak penumpang
memuntahkan isi perutnya tak kira-kira. Pemandangan yang bukan main
indah seperti di Teluk Tapiannauli yang tampak mempesona dari Bonan
Dolok di Km 9, jadi tak menarik lagi. Jalan yang hebat itu telah ada
semenjak jaman Belanda. "Sebetulnya jalan itu sendiri masih muda
usianya," ujar S.O. Sianturi, yang di jaman Belanda dulu jadi Mantri
Garam I di Balige dan bekas anggota DPRD II Kodya Sibolga hasil Pemilu
'71, membuka kisah asal-usul pembuatan jalan itu. Selepas perang
Sisingamangaradja di tahun 1907, katanya, pemerintah Belanda mengalami
kesulitan melancarkan komunikasi kawasan sekitar Tarutung yang kaya akan
hasil hutan dengan Sibolga sebagai pelabuhan alam Bagaimana memboyong
hasil bumi Tapanuli Utara ke Sibolga? Maka adalah menir Stins, waktu itu
dikenal sebagai kepala bengkel Pekerjaan Umum di Sibolga, menemukan
cara menembus kesulitan Stins, yang oleh orag-orang Sibolga diganti jadi
sebutan tuan Sitenus, cukup terkenal di Padanglawas dan daerah
sekitarnya. Dia kesohor sebagai Belanda yang baik, tidak sombong, bahkan
isterinya pribumi berasal dari pulau Jawa. Pula ia fasih berbahasa
Tapanuli. Dia inilah yang memimpin pembuatan jalan Sibolga-Tarutung.
Dipekerjakannya orang-orang hukuman yang biasanya berasal dari Jawa dan
Bugis. Orang rante, begitu orang menyebut narapidana, digiring dari
penjara di Jalan Tarutung, Sibolga, yang kini telah jadi kantor Pajak
Gadai. Tahap demi tahap, mereka mengorek bukit batu, atau meledakkannya
dengan dinamit. "Dinamit model kuno," kata Abdul Rahim Siregar (81
tahun) yang dulu pernah jadi klerek di Kantor Residen Tapanuli sampai
tahun 1922. Artinya, Sitenus tidak mempergunakan kabel atau kenop tekan
untuk meledakkannya. Tapi seperti orang main petasan saja. Beberapa buah
"petasan" besar disulut sumbunya. Tunggu saja beberapa menit. Tepat jam
11 siang, jika lonceng di gardu berdentang, semua orang harus tiarap
atau berlindung. Sebab, ketika itulah bumi akan tergoncang oleh ledakan.
Jangan harap dapat ganti kerugian kalau ada rumah yang bocor tertimpa
batu gunung. Berapa orang yang meninggal ketika membuat jalan itu juga
tidak pernah tercatat. Saudagar Batak Sitenus bekerja bak sekali
merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pecahan batu diangkut
dengan lori dari Km 8 ke tempat yang sekarang bernama Jalan Panjaitan.
Dari situ, Sibolga yang waktu itu masih rawa-rawa, mendapat timbunan
batu dan tanah. Hasilnya, dengan lori yang masih mempergunakan rem kayu,
telah tertimbuni 3 buah kampung di Sibolga. Di suatu tempat Sitenus
menemui bukit yang bukan main kerasnya -- tidak mempan didinamit.
Sitelus tak habis akal. Diborlah bukit tersebut. Hingga kini, tempat itu
bernama Batu Berlubang. Perihal orang rante yang bekerja-paksa masih
dikenang oleh Rahim Siregar. Dari bui, berkulit legam dan berbaju
seragam, orang rante digiring ke lokasi pembuatan jalan dengan kaki
terikat satu sama lain. Leher mereka dikalungi semacam gari yang
dikunci. Suatu iring-iringan yang menakutkan bocah. Ceritera berdarah
tentang jalan Sibolga-Tarutung mengandung sejarah bagi penduduk
setempat. Ada rasa kebanggaan pula. Bis pertama yang lewat di sana 1917
bernama Tofan Saudagar Batak. Dari Tarutung, bis yang memakai ban mati
ini mengangkut kemenyan ke Sibolga. Sejak itulah terjalin hubungan
antara daerah pedalaman dengan pesisir berkat menir Stins Sitenus dengan
orang perantean.
Sebuah bus melintas di bawah batu lubang |
Sebuah bus melintas di bawah batu lubang |
air terjun di atas batu lubang |