Benediktus XVI: dari Tentara Hingga Menjadi Paus


VIVAnews - Paus Benediktus XVI pada Senin kemarin mengumumkan kepada dunia bahwa di usianya yang ke-85, dia memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia. Faktor usia yang kian renta adalah alasan pengunduran diri itu. Paus yang terlahir dengan nama Joseph Alois Ratzinger ini lahir di Bayern Jerman 16 April 1927. April nanti usianya 86 tahun.
Dia dilantik menjadi Paus pada 24 April 2005. Mengantikan Paus Yohanes Paulus II, yang wafat dalam usia 84 tahun. Paus Benediktus ini menjadi paus pada usia yang terhitung sudah sepuh. Dia dipilih para kardinal dari seluruh dunia lewat Konklav kepausan (sidang pada kardinal sedunia) menjadi paus pada usia 78 tahun. Dalam catatan sejarah kepausan, yang tertua adalah Paus Klemens XII yang dipilih pada tahun 1730 pada usia tiga bulan lebih tua dari Ratzinger.
Meski sangat langka terjadi, pengunduran diri Paus dari Tahta Suci memang dimungkinkan sebagaimana tercantum dalam Canon 322 paragraf 2 dalam Kanonik Gereja Katolik.
Dari 265 Paus sepanjarang sejarah, cuma ada tiga yang mengundurkan diri. Paus  Celestinus V pada tahun 1284 dan Paus Gregorius XII pada tahun 1415. Pengunduran diri dimungkinkan karena sudah renta dan kesehatan mereka tidak memungkinkan. Paus Benediktus XVI yang dikenal sebagai pemikir dalam Gereja Katolik, tidak pernah menginginkan dirinya menjadi seorang Paus.
Masa Kecil Dipaksa Bergabung dengan Nazi

Joseph Ratzinger terlahir di sebuah keluarga tradisional. Ibunya Maria dan ayahnya adalah seorang polisi, Joseph Fratzinger Sr. Kecerdasannya sudah terlihat semenjak belia. Ratzinger muda memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dalam banyak bahasa dan memiliki kecintaan akan karya Mozart dan Beethoven.

Ketertarikannya akan dunia spritual gereja muncul semenjak usia lima tahun. Ketika dia berkesempatan mengunjungi seorang Uskup di Munich dan mengagumi jubah merah yang dikenakan oleh sang Uskup.

Tapi sebagaimana anak-anak pada masanya saat itu, pada usia 14 tahun, Ratzinger dipaksa bergabung di barisan pemuda Hitler. Ini adalah syarat bagi pemuda Jerman kala itu di bawah kepemimpinan diktator Adolf Hitler. Pendidikannya di Seminari Traunstein pun terhenti akibat direkrut sebagai kru pesawat perang pada perang dunia kedua di Munich.

Kemudian dia meninggalkan pasukan militer Jerman di akhir perang dunia dan sempat menjadi tahanan tentara sekutu di tahun 1945. Entah karena pengalaman masa kecil itu, setelah menjadi Paus pada beberapa misa Natal, dia selalu mengajak umat di seluruh dunia agar mengasihi anak-anak, terutama yang masih teraniaya, yang hidup dalam kemiskinan jalanan dan anak-anak yang dipaksa menjadi tentara.
Ratzinger juga sempat mengajar di Universitas Bonn sejak tahun 1959 dan di tahun 1966 ia mengajar di Universitas Tuebingen jurusan theologi dogmatis.
Dia sangat terkejut ketika murid-muridnya menunjukkan minat pada marxisme. Dalam pandangannya ketika ilmu agama bercampur dengan ideologi politik maka yang terjadi adalah tirani, kekejaman dan kebrutalan.

Vatikan mengatakan bahwa walaupun pernah menjadi tentara pada jaman Nazi, namun Ratzinger adalah seorang yang anti-Nazi. Pada Mei 2006, dia menyatakan berduka cita atas pembantaian Yahudi pada Perang Dunia II di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz.

 

Pribadi Karismatik dan Rendah Hati
Di tahun 1969, Ratzinger pindah ke Universitas Regensburg dan  bekerja di sana hingga diangkat menjadi dekan dan wakil rektor. Dia diangkat menjadi Kardinal Munich dari Paus Paul VI di tahun 1977.

Dia pun tidak pernah membayangkan akan menjadi paus suatu saat nanti. Bahkan ketika sudah terpilih menjadi paus pun, Ratzinger sempat merasakan kekhawatiran tidak akan dapat menyamai karisma yang dimiliki pendahulunya, Paus Yohanes Paulus ke II.
Namun sebagai seorang pemimpin agama, Ratzinger terkenal konservatif. Dia tidak mengenal kata kompromi dan menolak keras hubungan sesama jenis, pastor wanita, penggunaan alat kontrasepsi, euthanasia, dan hukuman mati. Kehidupan dan kematian adalah wilayah Tuhan yang tidak boleh diintervensi. Ratzinger memegang teguh tradisi bahwa seorang pastor haruslah hidup selibat.

Ratzinger dikenal sangat peduli terhadap iman umat manusia, tidak segan berada di garis terdepan membela hak asasi manusia, melindungi lingkungan dan melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Ketika mengunjungi Yerusalem 12 Mei 2009, Paus menegaskan dukungannya akan kemerdekaan Palestina. Tapi pada saat yang bersamaan dia mengencam anti semitisme, hal yang membuat warga Israel menjadi lega. (Baca: Vatikan Sambut Baik Pengakuan PBB atas Palestina)
Koleganya yang lain juga mengenalnya sebagai orang yang dapat diandalkan, ringan tangan dan memiliki pribadi yang rendah hati dengan keteguhan moral yang kuat. Sedangkan sesama kardinal lainnya mengungkapkan, Ratzinger merupakan pribadi yang keras kepala namun pemalu.

 

Hadapi Berbagai Skandal

Di masa kepemimpinannya, Ratzinger dinilai kerap menyinggung umat Muslim, Yahudi dan Protestan melalui pidatonya. Namun pendukungnya mengatakan pidato Paus tersebut sering disalahartikan oleh publik, karena dia hanya ingin memperkuat hubungan antaragama di dunia.

Hal itu dibuktikan selama menjabat sebagai Paus, Ratzinger pernah mengunjungi Mesjid Biru di Istanbul, Turki dan Kubah Batu di Yerusalem dan berdoa untuk perdamaian di Terowongan Western Well.

Namun di masa kepemimpinannya pula, banyak skandal yang terkuak. Mulai dari skandal tuduhan penyalagunaan wewenang di jajaran Gereja Katolik dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pastor.
Dalam menghadapi isu pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pastor, Ratzinger lagi-lagi mengejutkan publik, karena untuk pertama kalinya, dia meminta maaf kepada korban dan meminta kepada kepolisian setempat untuk memproses kasus tersebut.

Banyak kritik yang dialamatkan kepadanya yang menyebut Ratzinger tidak memberikan perhatian pada kasus pelecehan yang dilakukan oleh para pastor karena kepausan  tidak pernah secara terbuka mengklarifikasi peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Namun pendukungnya menepis anggapan itu dan menganggap apa yang dilakukan oleh Ratzinger sudah lebih dari cukup.

Dalam menghadapi berbagai konflik dan skandal, Ratzinger selalu berpegang teguh kepada kekuatan gereja yang berasal dari kebenaran absolut yang tidak dapat dipatahkan oleh apa pun. Namun filsofi tersebut dianggap mengecewakan beberapa kalangan yang merasa gereja perlu segera dimodernisasi. Vivanews Selasa, 12 Februari 2013, 09:48
Baca Selengkapnya...

Berita Terkini